Bukan soal warna yang kutunggu dari datangnya senja.
Bukan karna eloknya setiap hari menunggu datangnya senja.
dan bukan karna kemilau kuberdiri terus menanti senja.
pun saat senja hadir, menyinari mata, menenangkan hati, memikat dengan indahnya tak rela ku melepas.
Mungkin bagi kau senja hanya kilatan cahaya, tanpa rasa, hampa, tak bermakna.
Tak jua seperti dibibir pantai yang meluluhkan hati dengan desiran ombaknya.
Bahkan mungkin seberkas kuarsa yang hilang tanpa abu ataupun debu yang dibawa angin.
atau sepenggal kata, tanpa makna, dan hipotesa.
Ya, boleh saja kau anggap senja seperti itu.
Namun, senja, satu kata, banyak cerita, luka yang lara, dalam satu frasa.
keelokannya, barangkali hanya aku, atau kau pun merasakannya.
Saat senja menghampiri, akupun terus berdiri, menanti, menanti bahkan tak tau sampai kapan penantian ini.
Senja, tak terasa kau terganti dengan gelap nya malam, semilirnya fajar bahkan panasnya hari terus saja berganti.
Keelokanmu seakan bunga yang hanya ada dalam satu musim, dan kau tak akan terganti.
Dengan apapun itu.
Dan kau masih tak ingat, bahwa kau pernah berjanji disaat senja menepi, saat matahari kembali keperaduannya, saat kicau burung hilang dan kembali sunyi,
dan hari demi hari kuberdiri dalam senja, menunggu janji kau akan kembali saat senja menepi, saat kau pergi meninggalkanku.
Entah berapa banyak hari terlewati senja tanpa mu, entah berapa lama lagi sepi ini akan terganti dengan candamu, dan entah berapa lama lagi pesona indah senja terganti oleh pesona matamu.
dan yang pasti aku kan selalu berdiri, menanti, terus menanti hingga fajar pergi, hingga malam menyelimuti, hingga fajar menyingsing dan hingga senja itu kembali.
Dan aku selalu menunggumu.
#Bukan untuk yang LDR dalam bingkai pacaran.
puisi terinspirasi dari kisah seorang istri tentara yang menunggu pulang suaminya dari medan jihad.
0 komentar:
Post a Comment