KH Hasyim Al Asy’ari adalah
seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Sekaligus tokoh erjuangan Indonesia
yang tidak di ragukan lagi jasanya. Ia termasuk pendiri pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai
tokoh pendidikan pembaharuan pesantren. Selain mengajarkan agama dalam
pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum,
berorganisasi, dan berpidato.selain itu para santri di ajarkan juga soal
softskill
Biografi
KH Hasyim Al Asy’ari
Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok
Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya
yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Nama ayah beliau adalah Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang
berada di sebelah selatan Jombang. Sedangkan Ibunya bernama Halimah. Dari
ibunya, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga
dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang
(keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kelahiran Dan Masa Kecil
Terletak tidak jauh dari pusat kota Jombang ada sebuah dukuh
yang bernama Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren
yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya adalah Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar,
alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam
anak:
1.
Halimah (Winih)
2.
Muhammad
3.
Leler
4.
Fadli
5.
Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya
yang bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan
Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
1.
Nafi’ah
2.
Ahmad Saleh
3.
Muhammad Hasyim
4.
Radiyah
5.
Hasan
6.
Anis
7.
Fatonah
8.
Maimunah
9.
Maksun
10. Nahrowi, dan
11. Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada Selasa, 24
Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M. Masa dalam
kandungan KH.M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan
kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu
pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang
dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa
Ngedang, dan berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua
orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di
desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang di beri nama
Asy’ariyah.
Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya,
disini ia mulai menerima pelajaran agama
yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren
Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang
kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu
agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara mandiri. Setelah
sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada
keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.
Mengembara ke Berbagai
Pesantren
Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad
Hasyim belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur Jawa timur. Di antaranya
adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo,
Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H
Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad
Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Suatu hari, beliau melihat Kiai
Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab,
bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil
membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah
cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kiai
Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai
Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan,
kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut.
Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari
kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, Ini
terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah
Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok
Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada
tahun 1307 H/1891 M), beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren
Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru
berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama
setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk
menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah
haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya,
dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama
dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW
yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra
yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang
istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari
kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke
Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang
ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah
melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti
dilakukannya. Dan akhirnya, beliau
meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.
Kematangan Ilmu di Tanah
Suci
Beliau mengalami kerinduan untuk pergi lagi ke tanah suci. Tahun
1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya
yang bernama Anis. Tempat-tempat bersejarah dan mustajab pun tak luput untuk dikunjunginya,
seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya.
Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau.
Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar
sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman,
Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas
Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh
Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun
berada di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang
nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk
beramal dan mengajar di kampung halaman.
Mendirikan Pondok
Pesantren Tebuireng
Sepulangnya dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau
memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang
diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan
dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri.
Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar
Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama
sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah
pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu
merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda
tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya,
Di dearah tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana
tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu
sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi
kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi
dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok
Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas
Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai
lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap
penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi
salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori
dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadhan. Tradisi inipun
berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim).
Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian
bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan
orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan
menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok
pesantren.
Mendirikan Nahdlatul
Ulama’
Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31
Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’
(kebangkitan ulama) atau sekarang di kenal NU bersama KH. Bisri Syamsuri, KH.
Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya:
“Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad
bin Idris Asyafi’i,Imam Malik bin Anas,
Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja
yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi
rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya.
Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan
dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang
mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih
condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU
berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada
persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa
kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait
dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim
Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai
salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP,
peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar
Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada
khitohnya.
Pejuang Kemerdekaan
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda
dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau
menolaknya mentah-mentah. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat
kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan
kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah
menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
§
Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
§
Harta benda yang berlimpah-limpah
§
Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya
bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan
matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku
berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa
taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada
santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat
Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun
1940, barang kali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa
penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah
satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun
waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran
perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi
jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di
Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim
dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di
Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari
terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia
(MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga
beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
Wafatnya
Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami
Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian
kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu
utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut
dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa
surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam
untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron
melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta
korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim
berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau
memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang
mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab,
sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk
meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim
Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim
tidak sadarkan diri. Lalu dengan terburu-buru, ia memanggil keluarga dan
membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada
di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di
markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan
(Dokter Angka Nitisastro).
Beliau terkena pendarahan otak. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada
pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan
1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Karya Kitab Klasik
Karya- karya beliau sangat banyak,bahkan ada yang mengatakan 20
kitab.tetapi karna kurang nya dokumentasi maka kitab-kitab yang tersisa adalah:
1.
Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban
beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus
sejarah hidupnya
2.
Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat.
Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
3.
Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan
terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73
golongan
4.
Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang
wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
5.
Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa
al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
6.
Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan
mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
7.
Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum
nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
8.
Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan
syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan
0 komentar:
Post a Comment